Table of Content

Menanti Hujan di Ladang Sendiri

Katanya, kalau saya cukup sabar, hujan pasti datang. Tapi, tahu sendiri kan? Kadang langit nggak selalu bicara dengan cara yang kita harapkan.

Ada cerita tentang sebuah ladang yang sudah lama saya rawat. Bukan ladang besar, sih, tapi cukup untuk bikin saya sibuk dari pagi sampai sore. Tanahnya kadang keras, tapi saya tetap mencoba yang terbaik—menanam, menyiram, berharap.

Katanya, kalau saya cukup sabar, hujan pasti datang. Tapi, tahu sendiri kan? Kadang langit nggak selalu bicara dengan cara yang kita harapkan.

Minggu-minggu berlalu, tanah itu tetap kering. Sementara orang-orang di sekitar bilang, "Tunggu aja, nanti hujan turun," saya terus menggali, terus menyirami meski air mulai menipis. Nggak ada yang salah dengan berharap, tapi makin lama saya sadar, mungkin yang saya tunggu nggak bakal datang secepat itu.

Tumbuh Berbeda

Tapi tahu nggak? Di tengah keringnya ladang itu, ada juga benih yang mulai tumbuh—meski perlahan. Nggak setinggi yang saya harapkan, nggak secepat yang saya bayangkan, tapi mereka ada.

Mungkin inilah pelajaran yang bisa diamil: kadang kita berharap hujan deras, padahal air yang sedikit pun bisa bikin sesuatu tumbuh.

Mulai dari situ, saya nggak lagi terlalu mikirin kapan hujan turun. Ternyata, yang penting bukan soal hujan, tapi apa yang saya lakukan dengan air yang ada di tangan saya. Setiap tetes keringat yang jatuh di ladang itu ternyata cukup buat bikin saya sadar bahwa usaha saya nggak sia-sia.

Cara Langit

Saya juga belajar satu hal lagi: langit punya cara sendiri untuk memberi jawaban. Kadang nggak dalam bentuk hujan yang deras, tapi mungkin dalam bentuk lain—mungkin pemahaman, mungkin kekuatan buat terus bergerak. Dan seiring waktu, saya mulai bisa menerima itu. Nggak semua hal butuh hujan, kan?

Ladang yang saya garap ini mungkin nggak selalu subur. Mungkin suatu saat saya harus cari ladang lain yang lebih hijau, yang lebih mudah buat ditanami. Tapi sekarang, saya belajar buat menghargai prosesnya. Menunggu hujan bukan berarti saya harus berhenti bekerja.

Saya tetap menanam, tetap menyirami, sambil terus berharap yang terbaik. Dan meskipun hujan belum turun, saya tahu satu hal: saya sudah melakukan yang terbaik.

Mari kita saling terhubung dan berbagi cerita.

8 komentar

  1. "belajar buat menghargai proses..." Itu yang saya catat dari artikel Mas ini.
    Dulu saya bekerja di pabrik. Kadang sering terjebak memikirkan kualitas akhir satu produk. Setelah lama saya pelajari, ternyata justru yang harus lebih dipikirkan itu bagaimana menjaga proses agar tetap sesuai standar. Jadi kualitas produk akhir justru sebenarnya adalah hasil sampingan saja.

    Ah saya jadi nglantur kemana-mana nih Mas.

    Salam,
    1. Terima kasih telah berbagi pengalamannya, Mas.
      Salam.
  2. Waaah sangat sarat dengan makna sekali kata-katanya, jujur saya langsung bisa menerapkan tulisan ini untuk segala filosofi yang mewakilkan hampir semua kondisi. Walaupun ditemukan intinya adalah menghargai proses dan kesabaran, ya? :)
    1. Alhamdulillah apabila ada yg bisa diambil dari tulisan ini. Terima kasih sudah mampir.
  3. MasyaAllah, terharu baca kata2nya tentang makna setetes air.Iya bgt, kadang langit gak memberi selalu apa yang kita mau, tapi mungkin itulah yang terbaik buat kita,Tetap semangat dan jangan putus asa adalah kunci hidup hehehe...btw disana belum hujan kah? disini sesekali sudah mulai hujan walau kalau di perhatikan, sungai-sungai juga makin sedikit airnya..
    1. Semangaat... Hujan sesekali, tapi mendung sering kali tak jadi hujan.
  4. Ternyata air yang sedikit tetap bisa membuat tanaman tumbuh, tidak harus hujan deras ya bang, mungkin itu cara langit memberi tahu, ada prosesnya dalam setiap kegiatan.

    Tapi ngomong ngomong di daerah ku sudah mulai hujan, ada yang kecil ada juga yang cukup besar.
    1. Betul mas, gak usah nunggu hujan, syukuri yang ada. Btw, di daerah saya belum turun hujan nih.