Ada cerita tentang sebuah ladang yang sudah lama saya rawat. Bukan ladang besar, sih, tapi cukup untuk bikin saya sibuk dari pagi sampai sore. Tanahnya kadang keras, tapi saya tetap mencoba yang terbaik—menanam, menyiram, berharap.
Katanya, kalau saya cukup sabar, hujan pasti datang. Tapi, tahu sendiri kan? Kadang langit nggak selalu bicara dengan cara yang kita harapkan.
Minggu-minggu berlalu, tanah itu tetap kering. Sementara orang-orang di sekitar bilang, "Tunggu aja, nanti hujan turun," saya terus menggali, terus menyirami meski air mulai menipis. Nggak ada yang salah dengan berharap, tapi makin lama saya sadar, mungkin yang saya tunggu nggak bakal datang secepat itu.
Tumbuh Berbeda
Tapi tahu nggak? Di tengah keringnya ladang itu, ada juga benih yang mulai tumbuh—meski perlahan. Nggak setinggi yang saya harapkan, nggak secepat yang saya bayangkan, tapi mereka ada.
Mungkin inilah pelajaran yang bisa diamil: kadang kita berharap hujan deras, padahal air yang sedikit pun bisa bikin sesuatu tumbuh.
Mulai dari situ, saya nggak lagi terlalu mikirin kapan hujan turun. Ternyata, yang penting bukan soal hujan, tapi apa yang saya lakukan dengan air yang ada di tangan saya. Setiap tetes keringat yang jatuh di ladang itu ternyata cukup buat bikin saya sadar bahwa usaha saya nggak sia-sia.
Cara Langit
Saya juga belajar satu hal lagi: langit punya cara sendiri untuk memberi jawaban. Kadang nggak dalam bentuk hujan yang deras, tapi mungkin dalam bentuk lain—mungkin pemahaman, mungkin kekuatan buat terus bergerak. Dan seiring waktu, saya mulai bisa menerima itu. Nggak semua hal butuh hujan, kan?
Ladang yang saya garap ini mungkin nggak selalu subur. Mungkin suatu saat saya harus cari ladang lain yang lebih hijau, yang lebih mudah buat ditanami. Tapi sekarang, saya belajar buat menghargai prosesnya. Menunggu hujan bukan berarti saya harus berhenti bekerja.
Saya tetap menanam, tetap menyirami, sambil terus berharap yang terbaik. Dan meskipun hujan belum turun, saya tahu satu hal: saya sudah melakukan yang terbaik.