Table of Content

Menghormati Kecerdasan, Meratapi Kebisuan Politik

Dilema ini bukan sekadar bunga rampai. Ini adalah kekecewaan mendalam yang menari di sekitar hati saya, menyentuh setiap serat kepedulian saya.

Di antara hamparan intelektualitas, terdapat seseorang yang seperti lukisan abstrak: penuh warna, namun sulit untuk dipahami. Mereka adalah sosok akademis yang gemilang, berkilau dalam kecerdasan yang mereka tanamkan. Namun, saat sorotan beralih pada panggung politik, lukisan itu menjadi kabur, hilang di antara garis-garis yang samar.

Bagi saya, dilema ini bukan sekadar bunga rampai. Ini adalah kekecewaan mendalam yang menari di sekitar hati saya, menyentuh setiap serat kepedulian saya. Ketika melihat seseorang yang memperoleh pengetahuan dalam dosis besar, namun mengalami kebutaan dalam meretas jalan politik, pertanyaan menggelinding: Mengapa?

Bayangkan seseorang yang menyerupai sanggama ilmu. Mereka memiliki sayap yang luas, mampu melayang ke angkasa pengetahuan dengan anggunnya. Namun, ketika menatap realitas politik, mereka terjatuh dari langit-langit pemikiran rasional, terperangkap dalam labirin kebingungan.

Seolah-olah mereka adalah burung-burung yang terbang begitu tinggi, namun lupa bahwa ada jaring laba-laba politik yang membingungkan di bawah. Jaring itu, rapuh namun penuh tipu muslihat, menjebak siapa pun yang terlalu yakin dengan sayap-sayapnya sendiri.

Saya melihat sosok ini seperti gunung di cakrawala. Di sanalah kumpulan pengetahuan mereka menggantung, megah dan kokoh. Namun, ketika memasuki lembah politik, gunung itu hanya jadi bayangan, luntur oleh kabut ketidakpastian.

Tidak bisa saya pungkiri, dalam ilmu, mereka adalah titan. Seperti pohon-pohon besar, akar mereka merambah dalam kebijaksanaan kuno. Tetapi, ketika politik menjadi buah yang harus dipetik, mereka gagal membawa kebijaksanaan itu ke bumi nyata. Seolah-olah mereka tersesat dalam hutan tanpa akhir, tak mampu menemukan jalan pulang.

Kecintaan saya pada kebenaran dan keobjektifan bergoyang ketika menyaksikan bagaimana pilihan politik bisa mengubah jendela pandang seseorang menjadi jendela yang terlalu sempit. Seperti kacamata yang ditarik turun, pandangan mereka menjadi kabur dan terbatas.

Namun, dalam kegalauan ini, saya tidak bisa mengabaikan kehormatan yang pantas diberikan pada intelektualitas mereka. Bagai bintang-bintang di langit malam, pengetahuan mereka bersinar terang di kegelapan. Tetapi, bagaimana bisa kita menuntun orang-orang ini keluar dari kegelapan politik, ketika mereka begitu erat memeluk keyakinan yang menjerat mereka?

Keprihatinan ini, bagaikan aliran sungai yang tak pernah surut. Namun, dengan semua ketulusan hati, saya akan terus berusaha menggapai penerangan dalam kegelapan, mengarahkan mereka pada cahaya pengetahuan yang lebih jernih. Semoga suatu hari nanti, mereka dapat menyadari bahwa di luar kenyataan politik yang penuh intrik, kebenaran masih bersinar terang, menunggu untuk dijelajahi.

Mari kita saling terhubung dan berbagi cerita.

6 komentar

  1. Jadi sosok yang dianggap "piawai" itu apakah mungkin gak paham atau gak cocok di dunia politik yang penuh dengan intrik? Bagaimana rakyat bergantung pada pilihannya ? Berat ya mas ternyata bicara politik ,kata bang Iwan fals politik itu kejam .. hehe
    1. Sukar ditakar, karna kecintaan bukan hanya membutakan mata, juga hati dan jatidiri.
  2. Kalo bicara politik menurut ku abu abu, tak ada yang baik maupun jahat, yang ada kepentingan.😅
    1. tapi riaknya ada di bawah mas, hehe...
  3. Makanya males nonton debat politik, terkadang penuh kepalsuan dan hilangnya hati nurani :D
    1. Iya kang, candu kok ke politik, mending candu nulis di blog. hehe...